JABARONLINE.COM - Pemilihan Kuwu (Pilwu) serentak di 139 desa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mencatat sejarah baru. Untuk pertama kalinya, pemilihan kepala desa digelar dengan sistem Tempat Pemungutan Suara (TPS) digital.
Sebagai bagian dari persiapan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan bimbingan teknis (bimtek) bagi petugas TPS. Setiap desa diwajibkan mengirim dua orang peserta. Program ini dikabarkan didukung anggaran Pemprov Jabar hingga Rp2 miliar untuk wilayah Indramayu.
Indramayu pun diproyeksikan sebagai daerah percontohan. Pelaksanaan Pilwu dinilai relatif sukses dari sisi teknis. Namun, di balik keberhasilan itu,muncul keluhan dari petugas TPS terkait dugaan pungutan liar dalam kegiatan bimtek.
Sejumlah panitia Pilwu dari beberapa kecamatan mengungkapkan adanya permintaan uang sebesar Rp700 ribu per desa. Pungutan itu diduga dilakukan oleh oknum pegawai Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Indramayu, dengan alasan untuk membayar honor tutor bimtek TPS digital.
Informasi tersebut mencuat setelah Pilwu selesai dilaksanakan. Untuk menelusuri kebenarannya, awak media mendatangi sejumlah ketua panitia Pilwu di Kecamatan Sliyeg, Krangkeng, dan Cantigi.
Dari keterangan sejumlah sumber di tiga kecamatan itu, dugaan pungutan tersebut dibenarkan. Menurut mereka, DPMD mewajibkan setiap desa mengirim dua delegasi untuk mengikuti bimtek penggunaan perangkat TPS digital.
Para tutor disebut didatangkan dari Bandung. Kegiatan bimtek dilaksanakan setiap Rabu. Di Kecamatan Kedokan Bunder, bimtek digelar tiga kali,sementara di Kecamatan Tukdana berlangsung empat kali.
Selama kegiatan, peserta mengaku hanya menerima konsumsi. Tidak ada uang transport maupun biaya operasional lainnya.
“Biasanya peserta bimtek itu dapat uang transport. Ini malah kami disuruh bayar. Padahal setahu kami, TPS digital ini program resmi gubernur,” ujar seorang sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Menurut sumber tersebut, permintaan uang muncul dua hari menjelang hari pemungutan suara. Ia menyebut oknum dari DPMD meminta Rp700 ribu per desa, dengan dalih untuk honor tutor.
“Ada desa yang bayar, ada juga yang tidak. Saya pribadi menolak karena tidak ada SPJ. Saat saya minta pertanggungjawaban tertulis, tidak diberikan,” katanya.
Ia menambahkan, permintaan tersebut disertai tekanan. Namun ketika diprotes, oknum yang bersangkutan meminta agar persoalan itu tidak dibesar-besarkan.
“Katanya jangan sampai bupati dengar, nanti bahaya,” ujar sumber itu menirukan pernyataan oknum tersebut. Ia mengaku telah mengantongi nama pihak yang melakukan pungutan.
Sumber lain dari Kecamatan Cantigi menilai persoalan ini tidak bisa dianggap sepele. Menurut dia, dugaan pungutan tersebut mencederai semangat transparansi program percontohan TPS digital.
“Ini program gubernur dan Indramayu dijadikan tolok ukur. Sistemnya boleh sukses, tapi kalau caranya seperti ini, itu mencoreng,” ujarnya.
Ia menegaskan, Sekretaris Daerah selaku Ketua Panitia Pilwu serentak serta Kepala DPMD harus bertanggung jawab atas dugaan pungutan tersebut.
“Kalau Rp700 ribu dikalikan 139 desa, totalnya mencapai Rp97,3 juta. Untuk apa uang itu? Setahu kami, seluruh biaya bimtek sudah ditanggung Pemprov Jabar. Kabarnya anggarannya Rp2 miliar, kok masih ada pungutan,” kata sumber itu,Minggu (14/12 /2025).
Ia juga menyebut informasi yang diterimanya, uang pungutan tersebut digunakan untuk honorarium dua tutor.
Kepala Bidang Pemerintahan Desa DPMD Kabupaten Indramayu Adang Kusumah Dewantara mengakui adanya pungutan, namun menyatakan uang tersebut telah dikembalikan.
“Memang ada, tapi sudah dikembalikan. Kalau mau jelas, silakan datang ke kantor,” ujarnya singkat.
Hingga berita ini ditulis, Sekretaris Daerah Kabupaten Indramayu Aep Surahman dan Kepala DPMD Kamidi belum memberikan keterangan resmi. Redaksi masih berupaya meminta konfirmasi, termasuk kepada Gubernur Jawa Barat sebagai penggagas program TPS digital, guna memperoleh penjelasan menyeluruh atas dugaan pungutan yang mencoreng proyek percontohan tersebut.***
(Junedi & Tim)